Sejarah Singkat Kabupaten Grobogan
Berdasarkan perjalanan sejarahnya, daerah
Grobogan sudah dikenal sejak masa kerajaan Mataram Hindu. Daerah ini menjadi
pusat Kerajaan Mataram dengan ibu kotanya di Medhang Kamulan atau Sumedang
Purwocarito atau Purwodadi. Pusat kerajaan itu kemudian berpindah ke sekitar
kota Prambanan dengan sebutan Medang i Bhumi Mataram atau Medang Mat i Watu
atau Medang i Poh Pitu atau Medang ri Mamratipura.
Pada masa kerajaan Medang dan Kahuripan, daerah Grobogan
merupakan daerah yang penting bagi negara tersebut. Sedang pada masa Mojopahit,
Demak, dan Pajang, daerah Grobogan selalu dikaitkan dengan cerita rakyat Ki
Ageng Sela, Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan dan cerita Aji Saka.
Pada masa kerajaan Mataram Islam, daerah
Grobogan termasuk Daerah Monconegoro dan pernah menjadi wilayah koordinatif
Bupati Nayoko Ponorogo : Adipati Surodiningrat. Dalam masa Perang Prangwadanan
dan Perang Mangkubumen, daerah Grobogan merupakan daerah basis kekuatan
Pangeran Prangwedana (RM Said) dan Pangeran mangkubumi.
Wilayah Grobogan meliputi daerah Sukowati
sebelah Utara Bengawan Solo, Warung, Sela, Kuwu, Teras Karas, Cengkal Sewu,
bahkan sampai ke Kedu bagian utara (Schrieke, II, 1957 : 76 : 91 ). Daerah
Sukowati ini kemudian sebagian masuk wilayah kabupaten Dati II Sragen antara
lain : Bumi Kejawen, Sukowati, Sukodono, Glagah, Tlawah, Pinggir, Jekawal, dll.
Daerah yang masuk wilayah Kab. Dati II Boyolali antara lain lain : Repaking,
Ngleses, Gubug, Kedungjati selatan, Kemusu, dll.
Sedang daerah Grobogan yang kemudian termasuk
wilayah Kabupaten Dati II Grobogan antra lain : Purwodadi, Grobogan, Kuwu,
sela, Teras Karas, Medang Kamulan, Warung (Wirosari), Wirasaba (Saba), Tarub,
Getas, dll.
Dalam pekembangan sejarah selanjutnya, atas
ketentuan Perjanjian Giyanti (1755), sebagai wilayah Mancanegara, Grobogan
termasuk wilayah Kasultanan bersama-sama dengan Madiun, separuh Pacitan,
Magetan, Caruban, Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung
(Kuwu-Wirosari) (Sukanto, 1958 : 5-6).
Dalam perjanjian antara GG Daendels dengan PAA
Amangkunegara di Yogyakarta, tertanggal Yogyakarta, 10 Januari 1811,
ditetapkan, bahwa uang-uang pantai yang harus dibayar oleh Guperman Belanda di
hapus. Kedua, kepada Guperman Belanda di serahkan sebagian dari Kedu (daerah
Grobogan), beberapa daerah di Semarang, Demak, Jepara, Salatiga,
distrik-distrik Grobogan, Wirosari, Sesela, Warung, daerah-daerah Jipang,dan
Japan. Ketiga, kepada Yogyakarta diberikan daerah-daerah sekitar Boyolali,
daerah Galo (?), dan distrik Cauer Wetan (?) (Ibid. : 77).
Pada masa Perang Diponegoro, daerah Grobogan,
Purwodadi, Wirosari, Mangor (?), Demak, Kudus, tenggelam dalam api peperangan
melawan Belanda (Sagimun MD, 1960
32, 331- 332).
Begitulah Grobogan, daerah yang selalu
bergolak di sepanjang sejarahnya untuk menunjukkan identitasnya sebagai daerah
yang penuh daya dan semangat untuk hidup bebas merdeka. Bahkan sampai masa
pergerakan Nasional dan masa kemerdekaan dan sesudahnya, rakyat Grobogan
Purwodadi sangat besar andilnya dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi
kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia.
B. DAERAH GROBOGAN DI AWAL SEJARAH
Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang
bersumber pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat
Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana
dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, Jl:
77; Raffles, 1978: 212).
Di lain pihak cerita Aji Saka juga merupakan cerita Mitologis,
yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh
karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam
bentuk cerita “lambang” bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa. Di sini cerita Aji
Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis,
yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias
menghancurkan penguasa kejam: Dewata Cengkar. Beberapa data dari sumber
tradisional juga terdapat dalam :
a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5).
a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5).
Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, “Negara
kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing
ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa”. Aji Saka gumujeng
amangsuli, “Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun.
Wondene ingkang kawartos puniko inggih kula”.
b. Primbon Jayabaya, Tan
Khoen Swie, Kediri, 1931: (hal. 10;27)
Jangaran jaman Kala Dwapara … Prabu Sindula, Galuh turun
kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu
luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka
tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka … Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng
Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka.
c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51.
c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51.
Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang
jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar,
nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing
tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake
Prabu Dewata Cengkar …
d. RNG. Ronggowarsito, Serat
Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.
Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri
sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu
Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian
dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana
pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan
perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku.
Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan,
ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon,
dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di
negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji
Saka adalah seorang raja yang kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan
menjadi seorang Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab
sebutan untuk Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan
untuk Brahmana agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji
Saka tidak pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh
bayangan. Dia diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat
Jawa. Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang
resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk
menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam
lambang “desthar” (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang
kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam
ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat
menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata
Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari
negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya
putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan
sengkalan “nir wuk tanpa jalu” yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078
Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka
di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di
Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan
perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan
perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala
adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun
Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633
Masehi).
Sengkalan adalah perhitungan tahun yang
diujudkan dalam bentuk rangkaian kata menjadi kalimat atau berupa gambar yang
menunjukkan angka tahun. Kalimat itu harus menggambarkan keadaan pada waktu
tahun itu. Tujuan untuk memperingati suatu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia dalam masyarakat dan bernegara.
Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut
Sengkalan Lamba, sedang sengkalan yang diujudkan dalam bentuk gambar atau
benda, disebut Sengkalan Memet. Tiap kata dalam kalimat atau gambar diberi
nilai yang berbeda-beda antara 0 (nol) sampai angka 9 (sembilan) dengan
mengingat akan adanya guru dasanama, guru karya, guru jarwa, dan sebagainya.
Beberapa contoh Sengkalan Lamba antara lain :
1.
Srutti Indriya Rasa :
termuat dalam prasasti Canggal atau prasasti Gunung Wukir dari Rakai Sang Ratu
Sanjaya. Berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi, merupakan Sengkalan tertua
yang pernah kita temukan.
2.
Nayana Wayu Rasa :
termuat dalam prasasti Dinaya dari raja Gajayana di “Candi Badut” dekat Malang.
Sengkalan itu berangka 682 Saka atau 760 Masehi.
3.
Nir Wuk Tanpa Jalu :
termuat dalam Serat Kanda, berangka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Merupakan
tahun penobatan Aji Saka jadi raja di Medhang Kamulan dengan gelarnya Prabu
Jaka atau Empu Lobang Widayaka.
4.
Sirna Hilang Kertaning
Bumi : termuat di dalam Serat Kanda, berangka Tahun 1400 Saka ? Tahun 1478
Masehi. Sebagai pertanda keruntuhan Keprabuan Mojopahit.
Beberapa contoh Sengkalan Memet :
1.
Di atas Panggung
Sanggabhuwana yang terletak di halaman dalam istana Kasunanan Surakarta,
terdapat bentuk ular naga bersayap yang dinaiki oleh manusia. Bila dibaca
berbunyi : Naga Muluk Tinitihan Janma, berangka tahun 1708 Jawa atau 1781
Masehi.
2.
Panggung tersebut
dapat pula dibaca : Panggung Luhur Sangga Bhuwana. Artinya: panggung = pa agung
bernilai 8; luhur bernilai 0 (nol); Sangga adalah perkumpulan para pendeta
Budha bernilai 7 (tujuh); dan bhuwana bernilai 1 (satu), jadi 1708 Jawa atau
1781 Masehi. Atau dapat pula di baca : pa-agung (8); song (9); ga angka Jawa
bernilai 1 (satu); bhuwana bernilai 1 (satu). Jadi 1198 Hijrah atau 1781
Masehi. Sengkalan ini sebagai peringatan pembuatan panggung tersebut.
3.
Di dalam wayang kulit
purwa terdapat wayang Bathara Guru naik di atas hewan Lembu Nandini. Di baca :
Sarira Dwija Dadi Ratu. Bernilai 1478 Saka atau 1556 Masehi, ialah peringatan
ketika Sultan Demak membuat wayang kulit purwo sebagai sarana dakwah Islam.
4.
Ketika Sultan Agung
membuat wayang kulit purwo, maka dibuatlah wayang kulit Buta Rambut Geni yang
merupakan sengkalan pula. Bila dibaca : Jalu Buta Tinata Ing Ratu. Bernilai
tahun 1553 Saka atau 1631 Masehi.
Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk
Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi
raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti
sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah,
Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah
Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu kerajaan Mendhang dan
Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga pada masa Kerajaan
Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama
sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga.
Secara geografis, sekarang wilayah Grobogan
memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu
negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang
pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur.
Pada Tahun 1078 M terdapat keturunan raja
Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri Garasakan serta Sri Maharaha
Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh Aji Saka tidak dapat disamakan
dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan data-data sejarah yang ada,
tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi memang ada gejala perebutan
kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita Panji Panuluh. Justru
perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa Mataram, yaitu masa
Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa di Mataram. Dinasti
Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra menganut agama Budha
Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada masa Rakai Pikatan
(Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti Syailendra). Taktik
yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar adalah
dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri Syailendra, kakak
Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan. Peperangan antara
Rakai Pikatan melawan Balaputera memang terjadi berdasarkan prasasti Ratu Baka
(856 M = 778 Saka : Wulong Gunung Sang Wiku). Perang diakhiri dengan kemenangan
di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha (Balaputera) dalam peristiwa
tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa (Sumatra) dan menjadi raja
Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
Atas dasar kenyataan sejarah tersebut, maka
cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai ceritera lambang yang sangat kuat
mengandung unsur mitologis.
Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa
Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau
Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau
tanpa kekuatan laki-laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa
kekuatan, karena tenaga laki-laki “dimakan” oleh Dewata Cengkar, sebagai kias
bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi
yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari,
Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dll. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang
di bhumi Mataram!
Sekarang dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu?
Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri
dari dua kata: Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti “ibu
kota”. Buktinya :
Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal
dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara
lain menyebutkan : “rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu”. (Slamet Mulyono,
Sriwijaya: hal. 147). Artinya pembesar- pembesar terdahulu yang memerintah di
Medhang Poh Pitu, atau
1.
pembesar-pembesar yang
memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.
2.
Prasasti Tengaran
(Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke
Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya “ri Mendhang ri Bhumi
Mataram”, artinya “di Medhang di Bumi Mataram”. Dan nama ibukota ini dalam
prasasti Tengaran tersebut disebut pula “Medhang i Bumi Mat i Watu” yang
artinya “Ibukota di Bhumi Mat i Watu” (Caspaaris, I, 1950 : hal. 39-42).
Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota
kerajaan Mataram, kota ini sebagai “kuthagara”nya di Mataram.
Sedang Kamulan berasal dari kata dasar “mula”
mendapatkan awalan “ka” dan akhiran “an”, membentuk kata benda. Arti “mula”
adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh penjelasan tentang “mula”
tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam
Prasasti Indonesia I (1950).
Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan
beberapa kali “Sang Hyang Dharma Kamulan”, yang artinya “Mula Sang Hyang
Dharma” Maksudnya adalah “pendahlu yang telah tiada, atau sebuah tempat
pemakaman nenek moyang”. Selanjutnya dalam Prasasti Singasari disebutkan (OJO
38) “apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan ia pangawan” yang artinya
“sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan di Pangawan”. Jadi disini kata
“mula” berhubungan dengan “gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci.
Dalam Prasasti Karangtengah (824 M)
diceritakan bahwa Ratu Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri
Kahuluan th 842) mendirikan “Kamulan” di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan
suci Borobudur. Di sini arti “Kamulan” adalah makam nenek moyang dan tempat
pemujaan.
Dari penjelasan di atas kita dapat menduga
mungkin yang dimaksudkan dengan kata “mula” di sini adalah “asal, cikal bakal,
awal atau permulaan kejadian.” Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula
pertama atau asal kejadian.
Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak
ibukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu,
Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram,
menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu
berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana
alam dan lain-lain. Sehingga ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke
Sengguruh; dari Mojopahit ke Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered;
dari Plered ke Wanakerta atau kartosuro, dan dari Kartosuro berpindah ke
Surakarta, dan sebagainya.
Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang
sebagai berikut :
1.
Di sekitar Prambanan,
sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat
ibukota kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957 : 40 ). Juga dalam cerita
Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita
terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan.
(Ranggawarsito, III, 1922).
2.
Letaknya di Purwodadi,
daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan
sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa
Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas istana
kerajaan Medhang. (Raffles, 1978).
3.
Pendapat purbacarka
dalam bukunya “Enkele Oud platsnamen” dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak
Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat
desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah Watukura adalah nama lain
bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit
artinya mendung atau Medhang.
Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas
bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota
permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar
Prambanan, kemudian berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke
Prambanan lagi, baru sesudah itu berpindah ke Jawa Timur.
Alasan menentukan ibukota pertama di Purwodadi adalah :
1.
“Purwa” berarti
“permulaan” (Jawa: kawitan). “Dadi” artinya “jadi” (Jawa : Dumadi). Yang
mula-mula jadi, purwaning dumadi, sangkan paraning dumadi. Hal ini dikaitkan
dengan ceritera Aji Saka dengan Carakan Jawanya yang mengandung hidup, dan
kehidupaan manusia “Manunggaling Kawula Gusti”, dari sejak asal mula manusia di
dunia ini.
2.
Bila kita tinjau letak
geografisnya, memang lebih sesuai, sebab didaerah tersebut mudah mencari air,
padahal setiap makhluk membutuhkan air. Daerah ini memanfaatkan air sungai Lusi
dan beberapa anak sungainya untuk lalu lintas, pengairan kebutuhan hidup
sehari-hari. Lagi puia daerah ini tidak jauh dari laut, bahkan mungkin terletak
di tepi pantai Laut Jawa.
3.
Di dalam Primbon
Jayabaya (hal.27) dikatakan bahwa Aji Saka naik takhta di negara Sumedang
Purwacarita. Perkataan “Sumedhang” di sini bukanlah kota Sumedang di Jawa Barat
sekarang, tetapi dimaksudkan kota Medhang yang sangat baik. Jadi Sumedang
Purwacarita artinya ibukota Medhang yang sangat baik bagi (negara) Purwacarita.
Purwa berarti permulaan; carita berarti cerita, kejadian, purwaning dumadi,
sangkan paraning dumadi. Dengan demikian Sumedhang Purwacarita identik dengan
Medhang (Mendhang) Kamulan yang lahir di Mataram (negeri ibu, ibu pertiwi) yang
pertama kali.
Selanjutnya bagaimana cerita tentang Grobogan ?
Menurut cerita tutur yang beredar di daerah
Grobogan, suatu ketika pasukan Demak di bawah pimpinan Sunan Ngudung dan Sunan
Kudus menyerbu ke pusat kerajaan Mojopahit. Dalam pertempuran tersebut pasukan
Demak memperoleh kemenangan gemilang. Runtuhlah kerajaan Mojopahit. Ketika
Sunan Ngundung memasuki Istana, dia menemukan banyak pusaka Mojopahit yang
ditinggalkan. Benda-benda itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah
grobog, kemudian dibawa sebagai barang boyongan ke Demak.
Peristiwa tersebut sangat mengesankan hati
Sunan Ngudung. Sebagai kenangan, maka tempat tersebut diberi nama Grobogan
yaitu tempat berupa grobog.
Di atas dijelaskan, bahwa grobog adalah sebuah
kotak persegi panjang yang digunakan untuk menyimpan uang atau barang yang
dibuat dari kayu. Kadang-kadang berbentuk bulat, agar mudah membawanya dan
dengan cepat dapat diselamatkan apabila ada bahaya mengancam, misalnya bahaya
kebakaran. Tetapi grobog juga dapat berarti kandang yang berbentuk kotak untuk
mengangkut binatang buas (misalnya: harimau) hasil tangkapan dari perburuan.
Grobog tersebut dapat juga digunakan sebagai alat penangkap harimau. Grobog ini
biasa disebut Grobog atau bekungkung (bila kecil disebut: jekrekan untuk
menangkap tikus) (Geriecke dan Roorda, 1901 : 569).
Dari penjelasan diatas, Grobogan berasal dari
kata Grobog yang dalam salam ucapnya menjadi “grogol”. yaitu alat penangkap
binatang buas. Di Kotamadya Surakarta terdapat kampung bernama Grogolan, yang
dahulu tempat mengumpulkan harimau hasil perburuan (digrogol atau dikrangkeng).
Di perbatasan Kotamadya Surakarta dengan Kab. Dati II Sukoharjo terdapat desa
yang bernama desa Grogol, Kec. Grogol, ialah daerah perburuan Sunan Surakarta
dan Pajang pada zaman kerajaan.
Sejalan dengan penjelasan di atas maka
Grobogan adalah sebuah daerah yang digunakan sebagai daerah perburuan. Dan
ternyata daerah ini merupakan daerah perburuan Sultan Demak (Atmodarminto, 1962
: 119) atau merupakan daerah persembunyian para bandit dan penyamun zaman
Kerajaan Demak Pajang (Atmodarminto, 1955 : 123). Pada zaman Kartasura daerah
ini merupakan daerah tempat tinggal tokoh-tokoh gagah berani dalam berperang
(Babad Kartosuro, 79), misalnya : Adipati Puger, Pangeran Serang, Ng.
Kartodirjo, dan lain-lain.
Samana jeng Suitan karsa lelangen, amburu sato
ing wanadri, Trenggono kadherekaken para abdi, mring Sela wus laju maring
anggrogol sato wana. (Admadarminto, 1062 : 19).
Dalam abad XIX daerah Grobogan merupakan
daerah persembunyian para pahlawan rakyat penentang kekuasaan kolonial Belanda,
bersama-sama dengan daerah Sukowati. Daerah ini sangat cocok sebagai daerah
persembunyian, karena merupakan daerah hutan jati yang lebat dan
berbukit-bukit.
C. GROBOGAN PADA MASA MOJOPAHIT,
DEMAK-PAJANG, MATARAM DAN SURAKARTA
1. Masa Mojopahit.
Negara Mojopahit didirikan oleh Raden Wijaya
Kertarajasa Jayawardhana bersama kawan-kawannya dengan bantuan Arya Wiraraja
atau Banyak Wide dari Sumenep, Madura. Lokasi istana di hutan Tarik yang
kemudian di ubah menjadi sebuah ibukota kerajaan Mojopahit yang megah. Dewasa
ini lokasi bekas Kotaraja Mojopahit itu terletak di desa Trowulan, daerah
Kabupaten Dati II Mojokerto, Jawa Timur.
Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan
Mojopahit mengalami masa keemasan pada masa Prabu Hayam Wuruk Sri Rajasanegara
(1350-1389) dengan Patih Hamangkubumi Gajah Mada. pada masa Prabu Rajasanegara
itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi seluruh Nusantara. Daerah-daerah di
Jawa, setelah Kerajaan Pasundan ditakhlukkan atas siasat Gajah Mada, (peristiwa
Bubat, 1357) seluruhnya tunduk di bawah duli Keperabuan Mojopahit. Teknik
penguasaan daerah dilakukan dengan teknik perkawinan politik, perang, atau
penempatan salah seorang anggota keluarganya di daerah Lasem, Tuban dan
sekitarnya. Bhre Daha (Dahanpura) menguasai daerah Kediri, Blitar, Caruban,
Sengguruh, dan sekitarnya. Bre Paguhan menguasai daerah Paguhan, Japan,
Lamongan, Pasuruan dan sekitarnya. Bre Pajang menguasai daerah Pajang,
Sukowati, Tarub, Medhang Kamulan, Jipang dan sekitarnya. Dengan demikian daerah
Grobogan menjadi daerah yang penting pada masa Mojopahit.
Ketika sinar kekuasaan Keprabuan Mojopahit
mulai suram, daerah-daerah keluarga raja tersebut mulai banyak yang memisahkan
diri dari pusat kerajaan. Hanya daerah Grobogan yang masih tetap setia kepada
pemerintah pusat Mojopahit. Ini terbukti bahwa : Buyut Masharar di desa Getas
menjadi “juru sabin sang Prabu”; Ki Ageng Tarub menjadi orang kepercayaan Sang
Prabu Brawijaya yang penghabisan. Daerah Getas, Tarub, Medhang Gati, Medhang
Kana, Medhang Tantu dan beberapa desa di sekitarnya dijadikan daerah penghasil
padi untuk kepentingan istana. Bahkan Raja mempercayakan puteranya : Bondan
Kejawen untuk diasuh oleh Ki Buyut Mashahar dan berguru kepada ki Ageng Tarub
(kidang Telangkas).
Di lain pihak kelemahan kekuasaan raja
mendorong raja-raja daerah yang lain, terutama daerah pantai untuk melepaskan
diri dari kekuasaan Mojopahit. Daerah-daerah pantai beberapa diantarannya
Gresik, Tuban, Lasem, Jepara dan lain-lain. Pada 1437, saudara Hayam Wuruk, yakni
Bre Daha atau Dahonopuro melepaskan diri dari Mojopahit. Dohopuro dapat
menguasai Madiun, Jagorogo, Pajang, Bojonegoro, Caruban serta beberapa daerah
di Grobogan (Raffles, 1978 : 80-83).
Kerajaan ini bertekad akan mendirikan negara
Mojopahit baru. Dyah Ronowijoyo mendirikan keluarga Girindrawardhana, yang
kemudian berpusat di Keling sebelah timur laut Kediri (Daha). Dia menjadi raja
di Keling 1474 dan pada Tahun 1478 dapat meruntuhkan kekuasaan kerajaan
Mojopahit. Peristiwa ini ditandai dengan sengkalan yang berbunyi “sirna hilang
kertaning bhumi”, yang bernilai 1400 Saka atau 1478 Masehi. Sebagai raja, Dyah
Ronowijoyo mengambil gelar: Paduka Sri Maharja Sri Wilwatikta Pura Janggolo
Kediri, Prabhunoto Sri Girindrawardhana nama Dyah Ranawijaya, yang berarti Sri
Maharaja yang bersemayam di Keraton Mojopahit Sang Prabu Jenggolo dan kediri
Sri Baginda Girindrawardhana nama Dyah Ranawijoyo. (Muh Yamin, 1958 : 235).
Keruntuhan Mojopahit tidak berarti hancur sama
sekali sebab sampai tahun 1486 masih ada berita tentang adanya kerajaan
Majapahit yang berpusat di Sesungguruh. Muh Yamin memperkirakan lenyapnya
Kerajaan Mojopahit sekitar Tahun 1525, yaitu setelah diserbu oleh pasukan
koalisi Islam dari Demak. Sejak itu wahyu kerajaan Mojopahit berpindah ke
Demak.
Patih Gajah Pramada atur uninga ing Sang
Prabu, bilih Adipati Bintara salabanipun sampun nglenggahi pagelaran. Sang
Prabu sabalipun nunten oncat saking kedhaton. Kala meratipun Prabu Brawijaya
wau ing sakala ugi wonten ingkang katingal kados ndaru medal saking kedathon,
kados kilat, swaranipun gumudlug nggeririsi, dhumawah ing Bintara. (Allthoff,
1941 : 30).
Dengan peristiwa “sirna hilang kertaning
bhumi” tersebut banyak kaum kerabat dan putra-putri raja menyingkir keluar dari
Mojopahit. Sebagian menyingkir ke sekitar Gunung Lawu. Di sini membangun Candi
Sukuh dan Ceta sebagai pernyataan penyerahan diri kepada Tuhannya. Putra-putra
Prabu Brawijaya : ada yang sampai di Ponorogo dan mengangkat diri sebagai raja
dan gelarnya : Bathara Katong Ponorogo. Sedang yang lain bernama Raden Guntur
atau R. Gugur menyingkir ke Gunung Lawu, dan biasa disebut Sunan Lawu. Sedang
yang lain lagi mengungsi ke daerah Sela, Tarub, Getas dan Pajang.
Perlu diketahui bahwa Prabu Brawijaya
Penghabisan mempunyai beberapa orang isteri, yaitu :
1.
Endang Sasmitapura
atau Endang Sasmitawati, seorang puteri raksasa, berputera Jaka Dilah atau Arya
Dilah atau Arya Damar, diangkat menjadi Bupati di Palembang.
2.
Puteri Cina Liem Kim
Nio, yang ketika sedang mengandung “ditrimakake” kepada Arya Damar. Dari
kandungannya itu lahirlah Raden Timbal atau R. Patah, raja dan pendiri kerajaan
Demak dengan gelarnya Panembahan Jimbun atau Sri Sultan Ngalam Akbar. Raja ini
telah menganut agama Islam dan berpusat di Bintara Demak dan mendapatkan
dukungan kuat dari para wali (Wali Sanga).
3.
Putri Drarawati,
berputera puteri yang dikawinkan dengan Raden Jaka Sengara, putera Ki Bajul
Sengara, raja buaya. Jaka Sengara mendapatkan hadiah puteri tersebut karena dia
dapat mengalahkan pemberontak Menak Dali Pethak dari Blambangan. Sebagai
hadiahnya dia diberi seorang puteri dan diangkat sebagai Adipati Pengging
dengan gelarnya Pangeran Adipati Handayaningrat atau Adipati Dayaningrat. Adipati
Dayaningrat berputera Ki Kebo Kanigara dan Ki kebo Kenanga. Ki Kebo Kenanga
berputera mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, pendiri
kesultanan Demak di Pajang.
4.
Puteri Wandan Kuning,
berputera Bondan Kejawen atau Lembu Peteng atau Ki Ageng Tarub II. Bondan
Kejawen kawin dengan Nawangsih, puteri Ki Ageng Tarub I dengan Dewi Nawang
Wulan. Perkawinan Lembu Peteng dengan Nawangsih berputera Ki Ageng
Enis-berputera Ki Ageng Pemanahan-berputera Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring
Pasar atau Panembahan Senapati, raja pertama Kerajaan Mataram.
Dari silsilah tersebut ternyata, bahwa dari
daerah Grobogan (Getas, Sela) lahirlah tokoh- tokoh yang menjadi nenek moyang
raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram. Maka tidaklah aneh apabila raja-raja
Surakarta dan Yogyakarta menaruh perhatian besar terhadap daerah Grobogan,
khusunya daerah yang dahulu menjadi milik kerabat Sela. Hal ini terbukti pula
bahwa pada ketentuan perjanjian Giyanti 1755 daerah Grobogan masuk kedaerah
Kesultanan Yogyakarta. Sampai sekarang Makam Ki Ageng Sela di Desa Sela masih
dalam pengawasan dan pemeliharaan Kasultanan Yogyakarta.
2. Masa Demak dan Pajang
Sementara keperabuan Mojopahit mengalami
disintragasi, dinasti Girindrawardhana dapat merebut takhta kerajaan pada Tahun
1486 M. Raja dari dinasti ini bernama Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatikta Pura
Jenggolo Kadiri Prabunatha Sri Girindrawardhana nama Dyah Ronowijoyo (Muh
Yamin, 1958: II : 235). Nama ini berarti Sri Maharaja yang bersemayam di
Keraton Mojopahit Sang Prabu Jenggolo Kadiri Sri Baginda Girindrawardhana nama
Dyah Ronowijoyo.
Walaupun pada Tahun 1486 itu Mojopahit masih
ada rajanya, namun mereka sudah tidak mampu lagi mengembalikan masa Kejayaan
Mojopahit seperti pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Hal ini disebabkan,
disamping ada beberapa daerah yang memerdekakan diri, juga pada masa itu agama
Islam telah melebarkan sayap pengaruhnya di Jawa. Tokoh-tokoh seperti Ki Buyut
Masharar, Ki Ageng Tarub, Raden Rachmat di Ampel, Puteri Cempo adalah
toko-tokoh Islam yang sudah mulai memasuki istana. Kota-kota di pantai utara
Jawa sudah banyak yang masuk Islam, misalnya : Giri, Gresik, Ampel, Leran,
Lasem, Jaratan, Tuban, Sidayu, Bintoro, dan sebagainya. Kota-kota ini tidak mau
lagi mengabdi kepada raja Mojopahit yang beragama Hindu.
Dalam keadaan disintegrasi masyarakat inilah,
maka para Guru Agama (Islam) berperanan penting dalam penyebaran agama Islam
itu. Mereka itu adalah para wali dan di Jawa terkenal adanya “Wali Songo”.
Secara bertahap Islam mulai memasuki daerah pedalaman, wilayah Mojopahit. Agama
ini berkembang dengan baik di daerah-daerah perdikan, misalnya: di Sela, Tarub,
Getas, Tal Pitu, Jenar, Banyubiru, Tingkir, Pengging Ngerang dan lain-lain.
Daerah-daerah Ki Buyut dan Ki Ageng merupakan mandala perguruan Islam yang
animistis.
Dari daerah-daerah itulah bekembang agama
Islam Kejawen. Guru dan murid-muridnya kemudian menjadi tokoh-tokoh penting
pada masa Pajang dan Mataram. Disamping daerah teersebut menjadi daerah Demak
dan kemudian daerah Pajang, termasuk di dalamnya adalah daerah-daerah Jipang,
Tuban, Jepara, Juanan, Kudus, Cengkal Sewu, Grobogan dan lain-lain.
Dari kenyataan di atas, jelas bahwa Grobogan
sekarang ini sebagian terbesar termasuk wilayah kekuasaan Demak dan kemudian
Pajang. Bahkan pada masa Pajang, kerabat dari Sela yang berada di Pajang, yaitu
Ki Ageng Enis, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi (putra angkat Ki Ageng Sela),
ikatan kerabat dari sela tersebut dengan Pajang bertambah erat dengan
diangkatnya putera Ki Ageng Pamanahan, yaitu Raden Bagus (atau Bagus Srubut)
yang dalam Serat Kanda di sebut Raden Mas Danang, menjadi putera angkat Sultan
Pajang Hadiwijaya.
Putera angkat itu diberi nama Sutowijoyo, dan
karena tempat tinggalnya di sebelah utara pasar Pajang maka disebut Mas Ngabehi
Loring Pasar. Pengangkatan ini dimaksudkan sebagai “lanjaran” agar Sultan
segera memperoleh putera sendiri dari permaisuri (Meinsma, Babad: 48; Altoff,
Babad: 51). Tindakan Sultan inilah yang kemudian mengakibatkan bahwa antara
Sela dan Lawiyan serta kemudian Mataram bersatu menentang Pajang. Lawiyan
adalah tempat Ki Ageng Enis, yang oleh Sultan dari Sela dipindahkan ke Pajang
dan disebut ki Ageng Lawiyan.
Daerah Jipang (Bojonegoro dan Blora) diperoleh
Pajang setelah Sultan dapat membunuh Harya Panangsang, penguasa di Jipang.
Pembunuh Haryo Penangsang adalah empat serangkai dari Sela, yaitu Pamanahan,
Panjawi, Juru Martani dan Sutowijoyo. Sebagai hadiahnya maka Pamanahan
memperoleh bumi Mataram, dan Panjawi memperoleh daerah Pati. Sedang Juru
Martani dan Sutawijoyo ikut Pamanahan. Juru Martani menjadi Patih Sultan dan
nantinya menjadi Patih Senopati (Sutowijoyo) di Mataram dengan gelarnya Adipati
Mandaraka.
Daerah lain yang juga di bawah pengaruh Pajang
adalah Kalinyamat atau daerah Prawata, yang dengan suka rela oleh Ratu Kalinyamat
diserahkan ke Sultan Pajang yang dapat membunuh musuh utamanya : Harya
Panangsang.
3. Masa Mataram
Timbulnya kerajaan Mataram bukanlah karena
kepercayaan adanya riwayat, kaol, ramalan atau kepercayaan akan adanya wahyu
keraton, yang ditujukan untuk memuliakan keturunan Ki Ageng Sela atau atas diri
Sutowijaya, akan tetapi sangat diwarnai oleh adanya pertentangan paham
kepercayaan yang membutuhkan perpindahan pusat kerajaaan dari Demak ke Pajang
dan Ke Mataram.
Mula-mula, Mataram hanyalah sebuah “petinggen”
dengan petingginya Ki Ageng Pamanahan dengan sebutannya Ki Ageng Mataram.
Daerah ini diperoleh sebagai hadiah dari Sultan Pajang karena dapat membunuh
Harya Panangsang dari Jipang.
Selanjutnya Ki Ageng mataram digantikan oleh
Putranya Sutowijoyo atau mas Ngabehi Loring Pasar, dengan pangkat Bupati. Desa
Mataram di Kutha Gede segera dibangun menjadi sebuah kota berbenteng yang kuat.
Daerah Sela, Tarub, Getas, warung dan sekitarnya menjadi daerah “pamijen”
Mataram (Almanak, 1921:65). Perbuatan Senopati ini menimbulkan amarah Sultan
Hadiwijaya, sebab sudah begitu besar kasih kepadanya, tetapi pembalasannya
sangat tidak seimbang.
Di lain pihak, tindakan Sutowijoyo (Senopati)
menimbulkan rasa iri pada Harya Pangiri, Putera Sunan Prawata dan menantu Sultan
yang merasa kalah berebut kasih dari Sultan. Padahal Sutowijoyo hanyalah
keturunan “wong cilik” dari Sela. Dilain pihak pula tindakan Sutowijoyo juga
membuat tidak senangnya Bupati Tuban, menantu Sultan Hadiwijaya yang lain,
karena Sutowijoyo menciptakan saingan terhadap Pajang, Jipang dan Tuban.
Gelagat yang tidak baik ini juga dirasakan
oleh Sultan. Sebagai orang tua, sedapat mungkin Sultan berusaha mencegah
timbulnya perselisihan. Tetapi perselisihan tetap terjadi setelah terjadinya
peristiwa Tumenggung Mayang, menantu Ki Ageng Pamanahan serta pembunuhan
seorang utusan dari Banten oleh Raden Rangga, putera Sutowijoyo di Mataram.
Akhirnya mataram diserbu oleh pasukan gabungan Pajang, Jipang dan Tuban. Tetapi
serbuan tersebut tidak berhasil. (M. Atmodarminto, 1955 : 349-353 ; Alamanak,
1921: 90-91). Setelah penyerbuan tersebut, Sultan jatuh sakit, kemudian mangkat
dan makamkan di desa Butuh Kuyang tahun 11582 (M. Atmodarminto, 1961 :
303-304).
Dengan kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, keadaan
politik Jawa semakin tegang. Antara Sutowijoyo dengan pangeran Benowo, putera
Sultan di satu pihak, berhadapan dengan Harya Pangiri dan Bupati Tuban di pihak
lain. Mataram memperoleh dukungan dari para Buyut, Ki Ageng serta Sunan
Kalijogo dan tokoh-tokoh pedalaman yang lain, sedang Harya Pangiri dan bupati
Tuban mendapatkan dukungan dari para wali yang lain serta penguasa pantai.
Tentang kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, di
dalam Babad Mataram dikatakan bahwa pembunuh Sultan adalah Juru Taman, abdi
Sutowijoyo. Demikian bunyinya :
Juru Taman pan sampun kadugi, ing karsane wau
gustinira, tur sembah umesat age, Prapteng Pajang kadhatyn, kanjeng Sultan
kapangggih linggih, gaya binithi jajanya, Sultan datan emut, apan samya
tinangisan, ingkang garwa putra-putri samya anjrit, kagyat wungu jeng Sultan.
(M. Atmodarminto, 1961:305).
Selanjutnya keputusan para wali, Harya Pangiri
menggantikan kedudukan Sultan sebagai raja Pajang. Tahun 1586 dia dihancurkan
oleh pangeran Benowo dengan bantuan Sutowijoyo. Jadi Harya Pangiri berkuasa di
Pajang selama empat tahun (1562-1586). Kemudian dia dikembalikan ke Demak
sebagai Bupati yang berada di bawah perintah Pajang/Mataram.
Selanjutnya atas kerelaan Benowo, kekuasaan
Pajang diserahkan kepada Sutowijoyo di Mataram. Dengan demikian Pajang berada
di bawah kuasa Mataram. Maka berakhirlah Kesultanan Pajang. Dengan demikian
daerah-daerah Jipang, Sela, Teras Karas, Wirasari, Santenan (Cengkal Sewu),
Demak, Kedu, dan Grobogan menjadi daerah Mataram.
Beberapa waktu kemudian Sutowijoyo sebagai
penguasa Mataram menggunakan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Ngabdurrachman
Sayidin Panatagama Khalifatullah. Daerahnya diperluas ke Madiun, Ponorogo,
Kediri, Surabaya, Begelen, Blora, Lasem, dan beberapa daerah di Bojonegoro
(Jipang).
Terhadap Pati, Senopati mengangkat Adipati
Pragola atau Adipati Joyokusumo sebagai bupati. Adipati Pragola adalah anak
Panjawi, cucu Ki Ageng Ngerang. Tetapi ketika Senopati beristerikan puteri
Retnodumilah, putera Adipati Madiun, Adipati Pragola tidak senang hatinya.
Sebab isteri pertama adalah kakak Adipati
Pragola, dan sudah berputera Mas Jolang, sebagai Putera Mahkota. Dia khawatir,
jangan-jangan Senopati akan mencabut hak putra mahkota itu bila Retnodumilah
berputera. Oleh karena itu Adipati Pragola pulang ke Pati dan melakukan
pemberontakan. Daerah Santenan, Cengkal Sewu, Warung, Blora, Jipang dan
Grobogan diserbu dan dijadikan daerah Pati. Tetapi pemberontakan tersebut
segera dapat ditindas oleh Senopati, dan Pati dijadikan daerah Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645), Adipati Pragola II dari Pati berontak pula kepada
Mataram. Dia dihasut oleh T. Endranata. Tetapi gagal. Adipati Pragola gugur
dibunuh oleh Ng. Nayadrana. Sedang T. Endranata ditangkap dan dibunuh.
(Althoff, 1941: 57-59) Kemudian untuk daerah Pati ditempatkan T. Mangunoneng
sebagai Bupati yang menguasai daerah-daerah Pati, Santenan, Sela, Jipang,
Blora, Warung, Grobogan, dan Demak.
Sultan Agung digantikan oleh Sunan (Amangkurat
I : 1645-1676). Tahun 1646 Sunan mengadakan perjanjian dengan Kumpeni belanda.
Tindakan Sunan inilah yang menjadi awal mula Mataram secara berangsur-angsur
jatuh di bawah kuasa Kumpeni Belanda. Maka banyak bangsawan yantg tidak senang.
Kemudian mereka melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Panembahan Kajoran,
dan Raden Trunojoyo seorang pemuda dari Madura.
Dalam penyerbuannya R Trunojoyo dapat
menduduki istana Plered. Dalam penyerbuan tersebut, R. Trunojoyo mendapatkan
bantuan dari pasukan Bugis-Makasar di bawah pimpinan Karaeng Galengsong dan
Raja Galengsong, serta Bupati Pasisir. Dalam penyerbuan itu pasukan dibagi dua:
separoh pimpinan T. Mangkuyuda yang memimpin orang-orang Mancanagari dan
orang-orang pasisir melalui Grobogan, Sukawati, Pajang dan menuju Kajoran. Dia
dibantu oleh T. Dandang Wacana dan Daeng Marewa. Sebagian lagi melalui
Semarang, Kedu, Trayem sampai di Mataram sebelah Barat di bawah pimpinan T.
Wangsaprana dan Daeng Warewa. Desa-desa yang terletak di sepanjang jalan yang
dilalui oleh barisan tersebut dirusak dan dirampok.
Kota Plered dikepung dari arah barat, utara
dan timur kota. Dalam pertempuran tersebut Sunan tidak mau melawan. Dia beserta
putera mahkota dan keluarganya meloloskan diri dari istana, dan pergi ke arah
barat. Tujuannya hendak ke Batavia minta bantuan kepada Kumpeni Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada malam Minggu, 18 Sapar, Tahun Be, 1600 atau 1677
Masehi, dengan demikian pasukan Trunojoyo dengan mudah dapat menduduki istana
Plered.
Tetapi tidak lama kemudian keraton Plered
dapat direbut kembali oleh P. Puger, salah seorang putera Sunan. Karena
dikabarkan Putera Mahkota tidak mau menjadi raja dan akan naik haji ke Mekkah,
maka P. puger mengangkat diri menjadi raja Mataram dengan gelar : Susuhunan
Ngalaga ing Mataram (Altoff, 1941 : 63 : M. Atmodarminto, 1961:399). Kenyataan
putera Mahkota tidak naik haji ke Mekah, tetapi dia diangkat menjadi Sunan
Amangkurat II di Mataram. Maka di Mataram ada dua orang raja.
Sunan Amangkurat II tidak senang bertempat
tinggal di Plered. Dia ingin mendirikan istana di tempat yang baru, maka
dipilihlah Wanakerta sebagai istana di tempat yang baru tersebut diberi nama
Kartasura Adiningrat. Dengan Kumpeni diadakan perjanjian yang dikenal dengan
sebutan Kontrak Kendeng tahun 1976. Isinya pantai utara Jawa digadaikan kepada
Kumpeni Belanda dan juga beberapa daerah Mancanegari seperti Blora, Jipang, Grobogan,
dan Cengkal Sewu. Susuhunan Ngalaga tidak senang terhadap tindakan Sunan
Amangkurat tersebut. Maka dia bersiap-siap menyerbu Kartosuro.
4. Masa Kartosuro dan Surakarta
Pada masa pemberontakan Trunojoyo, keraton
Plered berhasil diduduki musuh. Menurut kepercayaan Jawa, istana yang telah
diduduki musuh akan hilang kesaktiannya dan kesuciannya. Maka Sunan Amangkurat
II tidak mau menempati istana Plered lagi. Dia ingin mendirikan istana baru di
tempat lain. Ada yang mengusulkan di Tingkir, di Logender, dan di Wonokerto.
Adipati Urawan mengusulkan agar pindah ke Wonokerto dengan alasan : tanahnya
datar, subur, dan strategis, serta menetapi “wisik” yang diterima oleh P. Pekik
ketika berada di Butuh Kuyang:
Ki Pekik, wruhananmu, kowe besuk duwe putu lanang,
jumeneng ratu gedhe, kedhatone ana ing Wonokerto, kaprenah sakuloning Pajang,
abebala bacingah, jejuluk Sunan Mangkurat. (Althoff, 1941: 132).
Selanjutnya persiapan pembangunan istana baru
dilakukan. Adipati Nrangkusuma memimpin penebasan hutan Wonokerto. Sesudah
pembangunan istana selesai, pada hari Rabu Pon, 27 Ruwah, Tahun Alip, 1603,
Sunan Amangkurat II pindah istana ke Wonokerto dan nama Wonokerto di ganti
menjadi Kartosuro Adiningrat (Althof, 1941 : 199).
Pertentangan antara Sunan Ngalaga dengan Sunan
Amangkurat II segera dapat diselesaikan setelah keduanya mengetahui duduk
perkaranya. Sunan Ngalaga kembali menjadi P. Puger dan bertempat tinggal di
Kartosuro dengan mendapatkan “lungguh” 4000 karya.
Pada tahun 1703 Sunan Amangkurat II (Sunan
Amral) mangkat dan diganti oleh Putera Mahkota Pangeran Adipati Anom dengan
gelar Susuhunan Amangkurat III atau Susuhunan Amangkurat Emas. Raja yang masih
muda ini selalu berbeda pendapat dengan P. Puger.
Akhirnya pada Tahun 1708 P. Puger pergi ke
Semarang tujuan minta bantuan kepada Kumpeni Belanda agar diangkat menjadi
Sunan Kartosuro. Oleh Kumpeni permintaan tersebut dikabulkan dan P. Puger
diangkat menjadi Sunan Kartosuro dengan gelar : Susuhunan Paku Buwono I.
Sebagai upah dari pengangkatan tersebut,
daerah-daerah Demak, Grobogan, Sela dan daerah sekitar Semarang sampai Ungaran
diambil oleh Kumpeni sebagai wilayah Kumpeni. Sementara itu pasukan Sunan
Kartasura yang ingin menyerbu ke Semarang dapat di tahan oleh pasukan gabungan
Sunan Paku Buwono I dan Kumpeni, sehingga terpaksa kembali ke Kartosuro.
Peristiwa ini terjadi pada 19 Juni 1708 (Raffles, 1978:188).
Tidak lama setelah pengangkatan itu, Sunan
Paku Buwono I menyerbu ke Kartosuro. Sunan Amangkurat gugur dalam pertempuran
dan Sunan Paku Buwono I menjadi raja di Kartosuro (1709-1719).
Tahun 1719 Sunan Paku Buwono mangkat,
digantikan oleh Susuhunan Amangkurat IV atau Susuhunan Amangkurat Jawi. Pada
masa Sunan Paku Buwono I, yaitu pada tahun 1709 diadakan perjanjian dengan
Kumpeni. Isi pokok perjanjian tersebut antara lain daerah Semarang dan
sekitarnya digadaikan kepada Kumpeni, termasuk didalamnya daerah-daerah Demak,
kudus, Blora, Jepara , Pati, Grobogan, Kendal.
Pada masa Amangkurat IV terdapat seorang abdi
pekatik yang sangat dekat dengan raja bernama Wongso Dipo. Karena jasanya dapat
menyelamatkan jiwa Sunan ketika terjadi perang dengan Pangeran Blitar dan P.
Purboyo di Mataram, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati Grobogan dengan gelar
T. Martopuro. Hanya daerahnya tidak jelas dia dia masih harus tetap tinggal di
Kartosuro. Peristiwa ini terjadi pada hari Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, tahun
Jimakir, 1650 atau 4 Maret 1726. (Serat perjanjian Dalem Nata:92). Dalam
pengangkatan tersebut tidak disebutkan daerah-daerah yang menjadi wilayah
kekuasaan Kabupaten Grobogan, adalah : Sela, Teras Karas, Wirosari, Grobogan,
Santenan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala (Babad
Pecina: 172-174). Kemudian beberapa bulan berikutnya Sunan Amangkurat IV
mangkat dan digantikan oleh Sunan Paku Buwono II (1727-1749).
Karena Sunan ini masih terlalu muda (baru
berumur 16 tahun) maka sebagai penasehat ditunjuk Patih Danurejo, sehingga
pengaruh Patih ini terhadap raja sangat besar. Patih ini sangat benci kepada
Belanda. Dia mendapatkan dukungan dari Ibu suri raja Ratu Amangkurat, dan T.
Martopuro, Bupati Grobogan. Secara diam-diam ketiganya dapat mempengaruhi hati
Sunan pun benci kepada Belanda.
Untuk mempersiapkan segala sesuatunya, T.
Martopuro meminta kepada Bupati Demak. T. Joyoningrat menyusun kekuatan mengusir
Belanda dari Semarang. Usaha ini kelihatan berhasil. T. Joyoningrat melaporkan
bahwa mereka telah bersepakat dengan para Bupati pesisir, dan orang-orang
Tionghoa itu telah mengangkat seorang Kapten bernama Kapten Sinseh sebagai
pemimpin mereka. Mereka mengkoordinasi kekuatan Tionghua di daerah Demak, Pati,
Santenan dan Grobogan. Ini terjadi pada tahun 1731. ( Raffles, 1978:214).
Namun hati Sunan yang masih muda itu sering
berubah-ubah. Dia khawatir akan pengaruh Patih Danurejo yang semakin besar, maka
akhirnya sikap Danurejo dilaporkan kepada Belanda, . Akibatnya patih Danurejo
ditangkap dan diasingkan ke Sailan. T. Martopuro tidak senang hatinya dengan
tindakan Sunan tersebut, Diam-diam dia menyusun kekuatan di daerah Grobogan.
Sebagai pengganti Patih maka diangkat Adipati
Notokusumo, seorang yang juga anti kepada Belanda. Di bawah tanah di bekerja
dengan Demang Urawan (putera P Purboyo yang kemudian di tawan dan mati di
Batavia) dan T. martopuro (BPH Buminoto, 1958:29)
Untuk membulatkan tekad dan pendapat, maka T.
Martopuro mengadakan rapat. Dalam rapat diiputuskan, bahwa mereka harus
mempengaruhi hati Sunan agar menyerbu ke Semarang dan membantu China. Sunan
dapat dipengaruhi. Hasilnya: Adipati Notokusumo diperintahkan menyerbu Semarang
dengan dibantu oleh Bupati-bupati Pasisir: Demak, Pati, Juana, Grobogan, dan
pasukan Tionghoa. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1741 (Raffles,
1978:215-217).
Ketika terjadi pemberontakan Cina di Batavia
1740 sikap Sunan tidak tegas, tetapi setelah dapat dipengaruhi oleh Adipati
Jayaningrat dengan kawan-kawannya, sikap Sunan jelas membantu China. Keadaan
ini segara berubah, setelah usaha Adipati Notokusumo menyerbu Semarang gagal
(November 1741). Sikap Sunan berubah sama sekali. Dia berpihak kepada Belanda.
Bahkan Adipati Notokusumo ditangkap ditangkap dan dibuang ke Sailan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini,
ini, T. Martopuro tidak enak hatinya, maka dia pulang ke Grobogan. Di Grobogan,
dia mengangkat diri sebagai Adipati Puger dan bekerja sama dengan orang-orang
Tionghoa di Kartosuro.
Sementara itu tindakan Sunan semakin kejam.
Pangeran Teposono dibunuh tanpa dosa. P. Haryo Mangkunegoro, kakak iparnya
dibuang ke Afrika Selatan, tanpa dosa, dan beberapa sentana serta abdi dalem
yang lain diturunkan pangkat dan dan jabatannya. Sudah barang tentu keadaan ini
memberi angin baik kepada orang-orang Tionghoa untuk menghancurkan Kartosuro
yang rajanya tidak tetap pendiriannya itu. Demikian juga dengan terang-terangan
Adipati Puger atau Adipati Martopuro membantu orang-orang Tionghoa.
Atas dorongan dan bantuan Kapitan Sepanjang,
Bupati Pati, T. Mangunoneng, dan Bupati Grobogan: Adipati Martopuro Puger, maka
Raden Mas Garendi, putera P. Teposono, dan salah seorang cucu Sunan Amangkurat
III, diangkat menjadi raja Kartosuro dengan gelar Susuhunan Kuning.
Raden Mas Garendi inggih punika putranipun
Pangeran Teposono ingkang dipun uyun-uyun dening Cina, kajumenengan nata
ajejuluk Sunan Kuning, dipun aturi nggepuk kartosuro. Adipati Martopuro
anggenipun gadhah pikajeng makaten wau, boten melikaken dhateng karaton, namung
kabekto saking kakening manahipun, ngantos kawedal wicantenipun dhateng Cina,
“Ratu kang cidra iku mangsa amalatana, getaken wae, amesthi kabur”. Ing ngriku
Adipati Martopuro sampun sagolong kaliyan Cina, sumedya mbedah nagari Kartosuro
(Panambangan, 1976:43).
Keraton Kartosuro diserbu dan 30 Juni 1742
istana dapat diduduki. Sunan Paku Buwono II terpaksa menyingkir ke Lawiyan
kemudian terus ke Ponorogo dengan diikuti oleh para pangeran yang masih setia
kepada Sunan, Pangeran Adipati Anom, dan kapten Hogendorp. Lolosnya Sunan dari
istana ditandai dengan sengkalan, “Swara karungu Obahing Bumi” (1667 Jawa =
1742 M) (Giyanti I: 1932: 14). Dalam pelarian itu Sunan membuat kontrak
Ponorogo. Isi kontrak antara lain; Seluruh pantai utara Jawa menjadi milik
Kumpeni Belanda; dan pemilihan serta pengangkatan Patih harus mendapatkan
persetujuan Kumpeni Belanda. Sebagai imbalannya Kumpeni harus dapat
mengembalikan takhta Kartosuro kepada Sunan.
Akhirnya atas bantuan pasukan Cakraningrat
dari Madura, Kartosuro dapat direbut kembali (Desember 1742). dan pada tanggal
24 Desember 1742 Sunan Paku Buwono II kembali ke Kartosuro dan menduduki takhta
kerajaan kembali. Sunan Kuning melarikan diri ke timur dan akhirnya menyerah di
Surabaya (Oktober 1743). (MD Sumarto, 1952: 114-115). Perlawanan diteruskan
oleh kaum pemberontak yang tidak mau berdamai dengan Sunan maupun Kumpeni
Belanda. Mereka itu ialah : Adipati Martopuro di Grobogan; RM Sahid atau RM
Suryokusumo di Nglaroh; P. Singosari di Keduwang, P. Buminoto di Wiraka dan
lain-lain.
Karena Kartosuro sudah tidak aman lagi, maka
Sunan ingin pindah dari Kartosuro. Ada yang mengusulkan di desa Kadipolo, di
desa Sonosewu, dan di desa Sala. Yang terpilih adalah desa Sala. Setelah
pembangunan istana selesai, maka Sunan pindah ke Sala, dan digantinya namanya
menjadi Surakarta Hadiningrat. (Tus Pajang, 18). Pemetaan calon istana dan kota
serta pengukurannya dilakukan oleh Mayor Hogendrorp, Patih R A Pringgoloyo,
Kyai T. Pusponegoro, Kyai T Honggowongso, Kyai Y. Mangkuyudo, Kyai T
Tirtowiguno, Pangeran Wijil, Kyai Khalifah Buyut, Kyai Ng. Yosodipuro I serta
Kyai Tohjoyo. (Giyanti 1:19).
Desa Sala yang terpilih menjadi istana
diratakan. Pembangunan istana dilakukan oleh: Undagi Kyai Prabasena dibantu
oleh Kyai Kartosono, Kyai Rajegpuro, Kyai Srikuning ditambah tenaga dari
mancanagari (Pawarti Surakarta, 1939 : 23). Awal pembangunan ini ditandai
dengan sengkalan “Jalma Sapta Amayang Bhuwana” (1670 Jawa = 1744 M). Setelah
selesai maka keraton kartosuro dipindah ke Sala atau Surakarta Hadiningrat yang
ditandai sengkalan “Kombuling Puja Aryarsa ing Ratu (1670 jawa = 1745 M) pada
hari Rabu Pahing, 17 Sura, Je, 1670. (Pawarti, 1939: 16-17).
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta
Hadiningrat, negara masih tetap dalam keadaan kacau. Pemberontakan masih tetap
merajalela. Para pemberontak itu ialah : Pangeran Haryo Buminoto di Sembuyan
(Adik Sunan). Pangeran Singosari di Kaduwang (Adik Sunan). Pangeran
Parangwadono (P. Suryokusumo atau RM Said) di Nglaroh. Adipati Martopuro atau
Adipati Puger di Grobogan Sukawati.
Para pemberontak itu bergabung menjadi satu
dan berpusat di Sukawati-Grobogan. Hanya Pangeran Haryo Buminoto sajalah yang
tidak mau bergabung. Ketika mereka berada di Sukowati, Adipati Martopuro
mengangkat P. Prangwadana menjadi Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro,
Senapati ing Ngalaga Sudibyaning Prang. Sedang Adipati Martopuro atau T.
Sujonopuro berganti nama menjadi Panembahan Puger. Waktu itu mereka berpusat di
Majarata, Sukawati.
Dalam keadaan kacau itu, adik Sunan yang lain,
yaitu P. Mangkubumi, karena dihina oleh Patih Pringgoloyo, juga keluar dari
istana dan melakukan pemberontakan.
Sabibaripun pasowanan B PH mangkubumi lajeng
tata-tata badhe nilar praja, kados ingkang sampun nate kalampahan. Lolosipun
nyarengi mantukipun Tuwan Gouvenur General Baron van Imhoof, inggih punika ing
dinten Sabtu Kliwon malem Ngahat legi, kaping 4 Jumadilawal, tahun Dai, 1971
(1745 Masehi). (Buminata, 1958: 13).
Selanjutnya P. Mangkubuni membentuk pusat
pertahanan di desa Pandak Karangnongko, daerah Sukowati, sedang Panembahan
Puger berpusat di desa Glagah, daerah Grobogan.
Pada suatu saat, pasukan Panembahan Puger
mendapatkan serbuan hebat dari pasukan gabungan Kumpeni dan Sunan. Dalam pertempuran
itu pasukan Puger mendapatkan kekalahan hebat. Pasukannya kacau balau. Bahkan
dia sendiri melarikan diri ke Semarang. Di semarang dia menyamar sebagai kuli
sambil menjual burung dara. Hidupnya terlunta-terlunta. Dalam hati dia memohon
kepada Tuhan agar dia memperoleh kebahagiaan di akhir nanti.
Awit saking sangeting prihatosipun, nuju
satunggaling dalu, adipati Martopuro supena. Katingalipun ing salebeting
pasupenan kados dene pinuju mara tamu jagong ing Kapatihan Natakusuman
(Kartosuro), tamunipun para putra tuwin para bupati, tetingalipun ringgit
wacucal. Sareng wiwit jejer, P. Mangkubumi katingal jumeneng mendhet balencong
kebekta lumajeng. Tamu lajeng bibaran. Tumunten katingal malih, RM Sahid
ngrebat kempol, ugi lajeng kabekta lumajeng. Adipati Martopuro nututi ngodol
saking wingking tindakipun P.Mangkubumi, purugipun mangetan, minggah ing redi
Lawu. Adipati Martopuro taksih dherekaken, sareng dumugi nginggil kaget byar
lajeng tangi (Panambangan, 1979 : 72).
Setelah mengalami peristiwa tersebut, Adipati
Martopuro segera pergi ke Surakarta mencari kabar tentang P. Mangkubumi. Dia
menemui menantunya: T. Joyopuspito atau T. Honggokusumo. Setelah ketemu, mereka
berdua ditambah anaknya Suwandi (Suryonagoro) pergi ke Sukowati. Dari T.
Joyopuspito dia mengetahui bahwa P. Mangkubumi juga melakukan pemberontakan dan
sekarang berada di desa Pandak Karangnongko, maka mereka segera pergi menyusul
P. Mangkubumi. mereka hendak mengabdi. Setelah dapat menghadap, pengabdianya
diterima. Adipati Martopuro diangkat sebagai Puger (kembali pada namanya yang
lama di Panembahan Puger ketika berkumpul dengan P. Prangwadana di Grobogan).
Sedang T. Joyo Puspito diangkat menjadi Bupati dengan mana T. Suryonagoro.
Sementara itu pasukan P. Mangkubumi di
Sembuyan sampai di Grobogan dan bertemu dengan Adipati Puger. Mereka menghadap
P. Mangkubumi di desa Ramun, Grobogan. Tidak lama kemudian mereka berangkat ke
Sembuyan dengan membawa 1500 prajurit. Dari Sembuyan P. Mangkubumi kembali ke
Jekawal, Sukowati. Dari Jekawal terus ke Barat lewat arah Wirosari, Sela. Teras
Karas, Grobogan. Dari sini terus ke arah barat daya menyusuri lereng Merbabu
dan Merapi menuju ke Kedu. Dari Kedu terus ke Mataram. Di desa Banaran, daerah
Nanggulan, Gunung Gamping, P. Mangkubumi mengangkat diri menjadi Susuhunan
kabanaran.
Ing dinten Jumuah Legi, kaping 1 Sura, tahun
Alip, 1675 utawi kaping 11 Desember 1749, BPH mangkubumi lenggah dipun adep
para sadherek lan para putra punapa dene punggawa sadaya … lajeng jumeneng
jejuluk Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga
ngabdur Rachman Sayidin Panatagama Khalifatulah (Buminata, 1958:20)
Karena penobatan tersebut terjadi di desa
Banaran, maka akhirnya Sunan biasa disebut Sunan Banaran di Mataram. Dalam
penobatan tersebut Sunan berkata : (Ibid: 20).
Rehning Ratu iku mesthine nganggo Patih, saiki
ingkang dadi karsaningsun, kaki PH Mangkunagoro ingsun sengkakake ing ngaluhur
dadiya Pepatihingsun, sarta abdiningsun Jayasanta dadiya Jeksa. Apadene Adipati
Puger dadiya Bupati Grobogan angerahna: Demak, Santenan, Cengkal Sewu,
Wirosari, Sesela, Teras Karas, Blora lan Jipang. T. Suryanagara ingsun ganjar
lemah 1500 karya. Sastra anjunjung anakingsun dadi Pangeran Adipati Anom,
Jejuluk KGPHH Mangkunagoro. Apadenen maneh kangmas BPH Hadiwijaya, adhimas GPH
Singasari, adhimas BPH Rangga, adhimas BPH Prabu Jaka; Adhimas BPH Panular
salin jeneng BPH Mangkukusuma. Sarta junjung putraningsun dadi pangeran iya iku
jeneng Pangeran Hangabehi. Kabeh wae yen ana ingkang ora ngrujuki matura ing
dina iki. (Buminata: 20 ; Panambangan:93).
Selanjutnya peristiwa penting yang terjadi
pada tahun 1749 di Kasunanan Surakarta adalah : Sepeninggal P. Mangkubumi maka
Sunan jatuh sakit. Pada waktu sakit keras itu datanglah Hogendorp ke Surakarta
dengan membawa naskah surat perjanjian. Sunan disuruh menandatangani surat
perjanjian tersebut. Dalam keadaan sakit keras itulah Sunan Paku Buwana II
menandatangani surat perjanjian yaitu pada tanggal 11 Desember 1749.
Rikala napak asmani perjanjian nglerehaken
keprabon punika kaliyan dipun wungokaken, sarta astanipun dipun cepengi.
Wondene jumenengipun (Nata) wonten ing dinten Senen Wage, kaping 4 sura, tahun
Alip, 1675 utawi 14 desember 1749 masehi, dados kaot tigang dinten kaliyan
jumeneng dalem nata BPH Mangkubumi wonten ing Mataram (Buminata:21).
Jelas bahwa pengangkatan BPH Mangkubumi
sebagai Susuhunan Kabanaran bersamaan dengan penandatanganan perjanjian antara
Sunan Paku Buwono II dengan Kumpeni Belanda yaitu tanggal 11 Desember 1749.
Susuhunan Kabanaran tidak memperdulikan isi
perjanjian tersebut. Dia meneruskan perlawanannya menentang Belanda. Desa
Banaran (daerah Nanggulan, Kulon Progo, sebelah timur Gunung Gamping) dijadikan
pusat perlawanan Mangkubumen.
Dengan cepat pasukan Mangkubumen dapat
menguasai daerah-daerah pantai utara Jawa bagian Barat. Pada tahun 1752
daerah-daerah yang dikuasai adalah daerah-daerah Kapten Juana (asli Ternate),
T. Joyoningrat di Pekalongan, T. Cokrojoyo di Batang, T. Jayengrono dan
Wiradijoyo di Brebes (Serat Perjanjian : 45-46).
Sesudah penobatan itu, adipati Puger di
perintahkan kembali ke Grobogan untuk menakhlukkan daerah-daerah sekitarnya dan
untuk selanjutnya menyerbu ke Surakarta.
Pada hari Ahad Legi, 22 Sura, Jimawal, 1677
atau 12 Desember 1751, setelah selesai perang di Jenar (Kedu), Sunan Kabanaran
mengangkat Abdi Dalem Lebet pangkat mantri bernama Ng. Prawirorono menjadi
Bupati dengan nama T. Kartonadi karena jasanya dapat membunuh Mayor Clerk dalam
pertempuran di Jenar tersebut. T. Kartonadi ini nantinya diangkat menjadi
Bupati Grobogan dengan nama T. Sosronagoro.
Dalam masa inilah Sunan Kabanaran berbintang
terang. Di beberapa tempat selalu menang perang. Ketika Sunan Kabanaran sedang
di desa Semawe, menerima utusan dari T. Suryonegoro yang disuruh menjaga daerah
Grobogan, sebab sepeninggal T. Martopuro (Adipati Puger), dia diperintahkan
untuk menaklukan daerah-daerah atau desa-desa sekitar Grobogan. Tidak lama
kemudian Sunan Kabanaran berpindah tempat ke desa Majaramu, kemudian ke desa
Kalangrambat.
Di dalam menghadapi perang Mangkubumi, Belanda
melaksanakan politik pecah belah (devide et empera). Usaha ini kelihatan
hasilnya: Sunan Kabanaran dapat dipisahkan dari PA Mangkunegoro. Disamping itu
Mayor Hogendorp melalui utusannya Syech Ibrahim dapat membujuk Sunan Surakarta
(Paku Buwono III) untuk membagi kerajaannya untuk Sunan dan untuk Sunan
Kabanaran.
Untuk mengadakan persiapan perdamaian antara
Sunan, Sunan Kabanaran dan Kumpeni, maka pada hari Ngahad Legi, 4 Besar, Dai,
1679 atau 22 September 1754, Komisaris jendral N Hartingh menghadap Sunan
Kabanaran di desa Padagangan, sebelah barat laut kota Surakarta, wilayah
Grobogan, untuk mengadakan pembicaraan akan diadakannya perjanjian antara Sunan
Surakarta dengan Kabanaran (Buminata, 1958: 56-57).
Selanjutnya pada hari kamis Kliwon, 29
Rabingulakir, Be, 1680 atau 13 Pebruari 1755 diadakan perjanjian di desa
Giyanti, wilayah Lebak Jatisari antara Sunan Surakarta dengan Sunan Kabanaran.
Naskah perjanjian disahkan pada 1 Sapar, Jumakir, 1682. (Panambangan, 1918 :
137).
Dalam perjanjian tersebut Kumpeni meminta agar
daerah Pesisir dan Madura tidak dibagi, sebab sudah diserahkan kepada Kumpeni
berdasarkan perjanjian dengan Sunan Paku Buwono II (1749) dan Sunan Paku Buwono
III (1751). Daerah-daerah yang dibagi “Sigar semangka” ialah daerah-daerah di
Nagoro Agung. Sedang daerah-daerah yang dibagi sedaerah-daerah atau sedesa-desa
adalah daerah Monconagari Kilen dan Wetan. Daerah Monconagari ada 30
daerah/kota yang dapat dibagi, tidak termasuk daerah-daerah Pajang, Sukowati,
dan Mataram bagian Selatan (Sukanto : 21 – 23; Buminata : 57 – 58; Giyanti XIII
: 76-78 : Serat perjanjian Dalem Nata : 57-58).
Dari hasil pembagian daerah-daerah Monconagari
ini Sunan memperoleh 32.350 cacah (Karya) dan Sultan (Sunan Kabana¬ran)
memperoleh 33.950 cacah (karaya). Sultan mendapatkan lebih luas karena
daerahnya agak tandus, sedangkan daerah Sunan merupakan daerah subur. Dengan
demikian maka dae¬rah – daerah Salatiga, Grobogan, wilayah Semarang, Jipang,
Blora juga termasuk daerah pembagian.
Menurut catatan Hartingh (Dejonge, Opkomst, X
: 374-375) hasil pembagian negara adalah masing-masing Surakarta dan Yogjakarta
memperoleh daerah seluas 53.100 cacah, yaitu berupa tanah lungguh, apanase
sedesa atau sekumpulan desa (ingkang dhawah seki lenipun Surakarta dipun palih
sigar semangka) (Buminata, 1958 : 73).
Untuk jelasnya, maka secara garis besar
pembagiannya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Sukanto (1958 :
73).
Sultan mendapatkan daerah-daerah Madiun,
Magetan, Caruban, saparoh Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Teras Karas (Ngawen),
Sela, Kuwu (Warung), Rawa (Tulung Agung), Japan (Mojokerto), Jipang
(Bojonegoro), Wirosari, Grobogan. Daerah-daerah ini sebelumnya merupakan daerah
koordinatif Bupati Pati, Caruban, dan Kediri.
Sunan mendapatkan daerah-daerah : Jagaraga,
Ponorogo, separoh Pacitan, Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo. Pace, Nganjuk,
Brebeg, Wirosobo (Mojo Agung), Blora, Banyumas, Kaduwang. Daerah – daerah ini
sebelumnya menjadi koordinatif Bupati Ponorogo, Madiun dan Banyumas.
b. Menurut BPH Buminata
(1958 : 73 : Penambangan, 1916 :137)
Sultan mendapatkan daerah-daerah : Madiun,
Ponorogo, Sumoroto, Maospati, Sidoyo, Pasuruan, Paci¬tan, Kalangbret, dan
sepanjang pesisir Gresik. Dengan catatan bahwa daerah-daerah di Kabupaten
Grobagan tetap menajdi daerah Kesultanan.
Sunan mendapatkan daerah-daerah ini
ditandatangani antara Susuhunan dan Sultan pada tanggal 26 April 1774, dan
disaksikan oleh Gubernur Jenderal Johanes Potters van den Burg. Tindakan ini
perlu dilakukan sebab perjanjian Giyanti sendiri mene¬tapkan secara jelas
pembagian daerah – daerah tersebut. ( Perjanjian Dalem Nata : 58 – 61 ).
Selanjutnya pada tanggal 14 Pebruari 1755,
Sultan mengangkat para Abdi dalem dan para “punggawa” dengan mengikuti pola
yang ada di Kasunanan Surakarta (Buminata: 71-72).
1.
T. Suryonagoro
diangkat menjadi Bupati Miji di Grobogan menggantikan Adipati Puger yang sudah
meninggal (1753) dengan nama T. Yudonegoro.
2.
T. Yudonegoro (Bupati
Banyumas) yang diminta dari Sunan, diangkat menjadi Patih dengan nama Raden
Adipati Danurejo.
3.
T. Ronggo Wirosetiko
diangkat Wedana Panumping dengan nama T. Ronggo Prawirodirjo.
4.
dan lain – lain masih
banyak lagi yang diangkat menjadi Punggawa dan Abdi dalem.
Selanjutnya PA Mangkunagoro juga diadakan
perjanjian di Salatiga pada hari Jumat Pon, 5 Jumadilakir, Be, Windu Adi, 1681
atau 25 Maret 1757. Sebagai Pangeran Miji, dia memperoleh tanah lungguh 4000
karya, yang terdiri dari daerah-daerah : Laroh, Sembuyan, Matesih, Wiraka,
Keduwang. Ngawen, separoh kota Surakarta, Karang Anyar, Baturetno, dan beberapa
daerah kecil yang lain.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa
daerah-daerah Kasultanan di daerah Grobogan adalah Grobogan, Sesela, Teras
Karas, Warung, Wirosari. Sedang sunan juga memiliki daerah enclave di daerah
Grobogan. Daerah enclave Sunan seluas 35000 karya di daerah Grobogan, dan
beberapa daerah lain, yang berdasarkan perjanjian antara Sunan dengan Belanda
tanggal 6 Januari 1811 dan ditanda tangani oleh Patih Raden Adipati Cokronegoro,
diambil oleh Kumpeni belanda (Zaman Daendels). Juga daerah-daerah Jepara,
Semarang, Demak Selatan (Cengkal Sewu), Salatiga, Blora, Jipang, dan Kedu Utara
sampai perbatasan Kendal, diambil oleh Kumpeni Belanda.
Prakawis 2
Kangjeng Gupermen Walandi samangke dipun
sukani tatah Kedu kang kabawah Kangjeng Susuhunan, punika plajengipun meh
dumugi ing tanah pesisiran kang ler.
Prakawis 4
Kalih Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani
siti ingkang bawah Kangjeng Susuhunan, siti becik ingkang wonten ing Semawis
lan ing Demak, punapa dene siti kang saupami (enclave) wonten ing Landresan,
Jepanten, utawi ing liyanipun punapa malih siti kang saupami (enclave) wonten
Grobogan lan tanah ing Salatiga.
Prakawis 5
Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti
ing Blora kang wonten saklering pungkasaning wates ing Grobogan lan tanah ing
Jipang.
(Perjanjian Dalem Nata : 84 – 85; Sukanto :
77).
Kemudian berdasarkan perjanjian dengan
pemerintah Inggris, pada hari sabtu, 1 Agustus 1812 daerah-daerah enclave di
Salatiga, Demak, dan Grobogan dikembalikan kepada Sunan, dan sebagai gantinya
Inggris mengambil seluruh kota pelabuhan, pasar-pasar, sarang burung, juga
Kedu, Wirasaba, Blora, Jombang, dan Pacitan. Sebagai gantinya Sunan mendapatkan
pajak pelabuhan, pasar, dan lain-lain tersebut sebesar 120.000 ringgit tiap
tahun. (Perjanjian Dalem Nata : 90 – 92); Sukanto, 1958 : 96).
Pada 22 Juni 1830 antara Sunan dengan Belanda
diadakan perjanjian, yang isinya antara lain : daerah Sela, Kuwu, dan Kradenan
dimasukkan ke dalam wilayah Sukowati. Daerah ini pada tahun 1829 persetujuan
Sultan diambil oleh Sunan.
Wondene siti ing Sela tuwin ing distrik Kuwu,
ing Kradenan, punika taksih tumut golonganipun siti Sukowati, sanes siti
Mancanegari. Mila siti ing Kuwu lan ing Sela, saha siti ing bawah Mataram ing
Imogiri, ing Kitha Ageng bawah Surakarta taksih tetep dados kagungan Dalem
Kraton Surakarta. (Perjanjian Dalem Nata : 106).
D. TERBENTUKNYA KABUPATEN GROBOGAN
Pembahasan terhadap terbentuknya sesuatu
Kabupaten sama halnya dengan pembahasan terhadap terbentuknya sesuatu
pemerintahan sesuatu daerah.
Yang dimaksudkan dengan hari Jadi ialah hari
kelahiran, dies natalis, yaitu saat sesuatu itu tidak ada menjadi ada. Menurut
pandangan hidup “kejawen”, hari kelahiran mengandung makna yang besar dan
berarti, yang menggembirakan dan penuh harapan. Harapan kelahiran juga
memberikan sifat-sifat tertentu kepada yang dilakukan.
Seseorang yang baru lahir, merasa bebas dari
kungkungan perut ibunya. Namun di alam bebas dia harus mampu bertahan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Panas, dingin, lapar, dan
dahaga harus dialaminya. Dia harus berjuang agar tetap hidup. Dia mencoba dan
berusaha menggunakan alat-alat tubuh yang dimilikinya menurut kemampuannya
untuk dapat bertahan hidup dan keberadaannya.
Ibarat kelahiran seorang bayi tersebut, dapat
pula kita terapkan pada kelahiran suatu negara, daerah, kota, ataupun
pemerintahan. Walaupun, masih sangat sederhana, masih mengalami perubahan
seiring dengan kebutuhan dan perubahan lingkungan atau zaman, kelahiran sesuatu
negara, daerah, kota ataupun pemerintahan harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu
adanya wilayah, adanya rakyat sebagai pendukung, dan pemerintahan sebagai
arahan dalam usaha mempertahankan kehidupan dan keberadaannya.
Kalau menurut pandangan “kejawen” kelahiran
sesuatu negara, kota atau pemerintahan didasarkan pada adanya pulung, cahya
nurbuat, wahyu, andaru ataupun impian-impian, seperti termuat dalam
cerita-cerita di sumber-sumber babad, maka secara rasional kelahiran sesuatu
negara, daerah, kota atau pemerintahan didasarkan pada kenyataan sejarah
peristiwa yang berupa kegiatan perjuangan manusia-manusia tokoh-tokoh penumbuh
berdirinya kota, negara, daerah atau pemerintahan tersebut. Misalnya : R.
Wijaya (Mojopahit), R. Patah (Demak), Mas Karebet (Pajang), P. Dayaningrat
(Pengging), Sutowijoyo (Mataram), P. Banjaransari (Pajajaran) dan lain-lain.
Di dalam menurut perkembangan Sejarah daerah
Grobogan untuk mencari dan menemukan kapan daerah tersebut mulai menunjukkan
kegiatan pemerintahannya secara mandiri, tidak di pengaruhi oleh pemerintahan
lain yang bersifat memaksa. Usaha ini tidak lain adalah usaha untuk mencari dan
menemukan kelahiran sesuatu Kabupaten, maka wilayah pemerintahan dalam sejarah
pemerintahan Jawa adalah : mula-mula secara bertingkat adalah : Kabupaten,
Patinggen, Kedamangan, Kalurahan atau Desa. Di atas terdapat Kemantren atau
Kecamatan atau Onder Distrik, Kawedanan atau Onder Regentschap, dan terakhir
adalah Kabupaten Gunung, Kabupaten Pangreh Praja atau Regentschap. Sebagai
pusat pemerintahan adalah Kerajaan atau Negara.
Untuk wilayah yang sekarang bernama Kabupaten
Daerah Tingkat II Grobogan, dalam menetapkan Hari Jadinya didasarkan pada kapan
terciptanya pemerintahan lokal Kabupaten di Grobogan pada masa dahulu.
Dalam sejarah Jawa, jabatan Bupati adalah
Bupati Prajurit. Sebutannya Adipati. Tugasnya : menyediakan prajurit dan tenaga
untuk raja dan kerajaan. Maka Bupati ini harus bertempat tinggal di Khutogoro.
Di samping tugas tersebut, maka dia harus pula menyediakan kebutuhan istana,
orang aneh, kain-kain, dan sebagainya. Sebagai pemimpin dari beberapa Bupati
tersebut diangkat Bupati Nayoko atau Wedono Bupati Sepuh (Serat Adhel : 11-13)
Bupati jenis ini memiliki wilayah yang pasti dan sistem pemerintahan yang
tetap. Misalnya pada zaman kerajaan kita ketahui adanya Bupati Panekar, Bupati
Numbak Anyar, Bupati Bumi Gede, Bupati Penumping, dan sebagainya.
Setelah sistem administrasi wilayah
dikembangkan menurut pola administrasi Barat (Belanda), maka pada tahun 1840
dikeluarkan Serat Angger-Anggeran Nagari atau Serat Angger Gunung, yang
mengatur tata tertib dan pemerintahan di daerah pedesaan. Untuk pengamanan
wilayah maka diadakan pos penjagaan (keamanan sepanjang jalan lalu-lintas utama
antara Surakarta-Semarang dan Surakarta-Yogyakarta-Semarang. Nama pos penjagaan
itu adalah Pos Tundan, yaitu sebagai tempat penjagaan daerah tersebut. Sedang
di daerah Gubernermen juga mulai ditertibkan pembentukan Regenschap atau
Kabupaten Administratip.
Kemudian pembentukan Pos Tundan itu
ditingkatkan lagi dengan pembentukan Kabupaten Gunung Polisi berdasarkan
Staatsblad 1847 no. 30 dan kelengkapannya melalui Staatsblad van Ned. Indie
11854 no. 32. Sampai di sini tugas seorang Bupati masih sebagai Bupati Prajurit
dan Kepala Pengadilan Wilayah yang bertindak sebagai Polisi Daerah. Kemudian
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad van Ned. Indie, 30 September
1918 No. 14 tentang status Bupati Staatblad ini kemudian diikuti keluarnya
Rijksblad Surakarta, 12 Oktober 1918 No. 23 dan No. 24 yang disyahkan
pelaksanaan oleh Pranatan Patih Dalem No. 383 th 1918 yang isinya penggantian
nama Abdi Dalem Patari (Abdi Dalem Gunung) beserta stafnya menjadi Abdi Dalem
Pangeran Projo supaya sesuai dengan status Kabupaten daerah Gubernemen;
Para Abdi Dalem Wedana, Panewu Mantri kang
sumengko kasebut Golongan Polisi, nanging kang kawajiban nindakake babagan
paprintahan, ikut ing sumengko jenenge Golongan Abdi Dalem mau Kasalinan, Abdi
Dalem Pangreh Praja. (Rijksblad Surakarta, 1918 No. 23 : 169-171). Mungguh
kuwajiban para panewu panggedening Distrik Serat tumrap babagan Polisi wae
nanging iya anindakake babagan peprintahan (Rijksblad Surakarta, 1918 No.
14:171).
Dengan ketetapan tersebut maka seluruh Jawa
ada sebutan Kabupaten Pangreh Projo, termasuk Kabupaten Grobogan di Purwodadi.
Perlu diketahui bahwa struktur Pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja adalah
sebagai berikut :
1.
Bupati, disebut Bupati
Pangreh Praja.
2.
Panewu Gunung disebut
Wedono Pangreh Praja.
3.
Panewu Sekretaris yang
disebut Wedono Kondaning Bupati Pangreh Praja.
4.
Mantri Gunung disebut
Mantri Pangreh Praja.
5.
Mantri Sekretaris yang
disebut Panewu Kondhaning Wedanan Pangreh Praja.
6.
Mantri Polisi disebui
Mantri Pangreh Praja.
Disamping itu juga ditetapkan struktur
birokrasi dengan di tingkat Distrik (Kawedanan) dan Onder Distrik (Kemantren)
di daerah-daerah wilayah Kabupaten Pangreh Praja. Jumlah Pejabat menurut
Staatsblad V Ned Indie 1924 No. 18 dengan Rijksbald Surakarta 1924 No. 19
adalah sebagai berikut. Staatsbald V Ned Indie 1924 No. 18 hal 40-41 Rijksblad
1924 No. 24 hal 41-42.
1.
Para pembantu
Sekretaris, pembantu Priyayi, termasuk Golongan Pangreh Praja.
2.
Para Carik serta
Mantri di Kabupaten pra Carik Panewon dan Keonderan Distrik serta uang diperbantukan
di Algemene Polisi.
3.
Para Priyayi yang
memiliki Diploma Pangreh Projo Pemerintahan Jawa serta Para Mantri Polisi.
4.
Para Mantri Sekretaris
Kabupaten.
5.
Para Mantri Pembesar
Onder Distrik.
6.
Para Panewu
Sekretaris.
7.
Para Panewu Pembesar
Distrik.
8.
Bupati Anom Pangreh
Praja.
9.
Bupati Pangreh Praja.
Dari penjelasan diatas, setelah kita mengkaji
perkembangan sejarah Grobogan yang sekarang menjadi Kabupaten daerah Tingkat II
Grobogan, untuk menetapkan hari jadinya dapat di ajukan alternatif sebagai
berikut :
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Hari Jadi Kabupaten
Grobogan jatuh pada hari SENEN KLIWON, 21 Jumadilakir, 1650 atau 4
MARET 1726. Pada saat itu Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi
yang berjasa kepada Sunan, bernama Ng. Wongsodipo menjadi Bupati Monconegari
Grobogan dengan nama RT Martopuro. Dalam pengangkatan ini ditetapkan pula
wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya, ialah ditetapkan pula wilayah yang
menjadi daerah kekuasaannya, ialah Sela, Teras, Karas, Wirosari, Santenan,
Grobogan, dan beberapa daerah di Sukowati bagian Utara Bengawan Sala. (Babad
Pecina : 172-174).
Oleh karena Kota Kartosuro pada waktu itu
sedang dalam keadaan kacau, maka RT Martopuro masih tetap di Kartosuro. Sedang
pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada kemenakan sekaligus
menantunya : RT Suryonegoro (Suwandi). Tugasnya menciptakan struktur
pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja. Seperti adanya Bupati Patih, Kaliwon,
Panewu, Mantri dan seterusnya sampai jabatan Bekel di desa-desa.
Pengertian Monconagari ialah daerah taklukan
Raja Daerah ini bukan daerah asli. Pendudukan sebagai daerah yang berkewajiban
“seba” kepada raja setahun sekali yaitu pada hari besar “Gerebeg”. Perlu
diketahui bahwa sejak masa Kartosuro sampai masa Surakarta awal, awal Kerajaan
dibagi menjadi tiga kelompok daerah yaitu :
1.
Kuthogoro, yaitu
tempat tinggal raja, keluarga raja dan pejabat tinggi kerajaan. .
2.
Negara Agung yaitu
daerah asli kerajaan, daerah ini dibagi menjadi 8 Kabupaten Nayaka (dibawah
Bupati Prajurit). Kedelapan Kabupaten tersebut ialah : Kabupaten Bumi, Bumija,
Bumi Gede Kiwa, Bumi Gede Tengan, Sewu Numbak Anyar, Penumping, dan Panekar.
3.
Monconagari, daerah
ini merupakan daerah vasal yang terdiri dari daerah Monconagari Kilen dan
monconagari Wetan serta pengangkatan Ng. Wongsodipo sebagai Bupati Grobogan
dengan gelarnya RT. Martapura belum dapat dikatakan sebagai waktu lahirnya
Kabupaten Grobogan, sebab sebelum memenuhi persyaratan dasar bagi sebuah
Kabupaten.
Dari penjelasan di muka, jelas bahwa
pangangkatan Bupati Grobogan atas diri Ng. Wongsodipo atau RT Martopuro atau
Adipati Puger disertai dengan penyerahan kekuasaan atas daerah-daerah yang
menjadi wilayahnya. Ini berarti, bahwa pengangkatan Bupati di sini adalah
sebagai Bupati Kepala Daerah. Sebagai Bupati Patih adalah RT Suryonegoro. Dalam
perkembangan selanjutnya sebagai Bupati Kepala Daerah, Adipati Puger menguasai
daerah-daerah Demak, Santenan, Cengkal Sewu, Wirosari, Sela, Teras, Karas,
Blora dan Jipang, serta daerah-daerah di Sukowati bagian utara Bengawan Sala.
Sedang sebutan Adipati merupakan sebutan bagi seorang Bupati Monconagari yang
memiliki kedaulatan atas daerah-daerah yang dikuasainya.
Penataan administrasi wilayah sudah barang
tentu dilakukan secara bertahap dan baru pada masa pembentukan Kabupaten
Pangreh Praja (1847) sistem administrasi Kabupaten sudah boleh dikatakan
mendekati sempurna, seperti Kabupaten Daerah Tingkat II sekarang. Di samping
itu Adipati Puger atau RT Martopuro menjabat Bupati Grobogan sampai
meninggalnya (1753), dan nantinya dia digantikan oleh menantunya : RT
Suryonagoro dengan gelarnya RT Yudonagoro.
Dari penjelasan di atas, maka tanggal 4 Maret
1726 dapat ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Grobogan telah ada dan jelas
memiliki perangkat yang diisyaratkan bagi adanya sebuah Kabupaten, yaitu adanya
: wilayah, rakyat, dan pemerintahan, walaupun belum sempurna (Senin Kliwon, 21
Jumadilakir, 1650).
Selanjutnya sebagai akhir uraian dari bab ini
perlu disebutkan para Bupati yang pernah memerintah di Kabupaten Grobogan.
Menurut data yang ada Kabupaten Grobogan dengan ibu kota Grobogan pindah ke
kota Purwodadi terjadi pada tahun 1864. Peristiwa ini hanyalah merupakan
perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Grobogan. Jadi tidak terjadi perubahan
status daerah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya kita ketahui
bahwa pada 1928 (Staatbald, 1928 No. 117) Kabupaten Grobogan mendapatkan
tambahan dua distrik (Kawedanan) dari Kabupaten Demak, yaitu :
1. Kawedanan distrik Manggar
dengan ibukotanya di Godong.
2. Kawedanan distrik Singen
Kidul dengan ibukotanya di Gubug.
Maka Jumlah desa di dalam wilayah Kabupaten
Grobogan dengan tambahan dua Kawedanan tersebut yang semula terdiri atas 129
desa menjadi 280 desa sampai sekarang. Pada tanggal 1 Januari 1930 (Staatblad
1930, No. 3) berdirilah Regent Schapsraad (Dewan Katapaten) Grobogan sebagai
badan ekonomi dimana Regent (Bupati) sebagai ketuanya.
Pada Bulan April 1932 asistenan Karangasem
Kawedanan Wirosari dihapus dan dalam Bulan September 1933, asistenan Gadoh
Kawedanan Manggar juga dihapus (Staatblad 1932, No. 16; Staatblad 1933, No.
51). Kemudian mendapatkan tambahan asistenan Klambu Distrik Undaan Kabupaten
Kudus.
Pada bulan Maret 1942 di masa Perang Dunia II
daerah Grobogan juga tidak luput dari pendudukan tentara Jepang. Pada waktu itu
Bupati Grobogan R. Adipati Ario Soekarman Martohadinagoro meninggalkan kota
(Purwodadi) dan mengungsi di Pesanggrahan Argomulyo (milik Perhutani). Tetapi
tidak lama kemudian oleh Jepang diserahkan kembali ke Purwodadi dengan
ditetapkan sebagai Kentyo (Bupati) Grobogan. Pada tahun 1944 Bupati Ario
Soekarman di pindah ke Semarang, digantikan oleh R Soegeng sampai tahun 1946.
Untuk jelasnya nama-nama Bupati yang pernah
memerintah Kabupaten Grobogan sejak Adipati Martopuro tahun 1726 adalah sebagai
berikut :
A. Pada waktu ibukota
Kabupaten menetap di Kota Grobogan
1.
Adipati Martopuro atau
Adipati Puger : 1726 –
2.
RT. Suryonagoro
Suwandi atau RT. Yudonagoro.
3.
RT. Kartodirjo :
1761-1768, pindahan dari
4.
RT. Yudonagoro :
1768-1775. Kemudian
5.
R. Ng. Sorokerti atau
RT. Abinaro
6.
RT. Yudokerti atau
Abinarong II : 1787-1795.
7.
RM. T. Sutoyudo :
1795-1801.
8.
RT. Kartoyudo :
1801-1815.
9.
RT. Sosronagoro I :
1815-1840.
10.
RT. Sosronagoro II :
1840-1864.
B. Setelah ibukota Kabupaten
menetap di Kota Purwodadi tahun 1864.
1.
RT. Adipati
Martonagoro : 1864-1875.
2.
RM. Adipati Ario
Yudonagoro : 1875-1902.
3.
RM. Adipati Ario
Haryokusumo : 1902-1908.
4.
Pangeran Ario Sunarto
: 1908-1933, Pencipta Trilogi Pedesaan yaitu di desa-desa harus ada Sekolah
Dasar, Balai Desa, dan Lumbung Desa.
5.
R. Adipati Ario
Sukarman Martohadinegoro : 1933-1944.
6.
R. Sugeng : 1944-1946.
7.
R. Kaseno : 1946-1948.
Bupati merangkap ketua KNI.
8.
M. Prawoto Sudibyo :
1948-1949.
9.
R. Subroto :
1949-1950.
10.
R. Sadono : 1950-1954.
11.
Haji Andi Patopoi :
1954-1957. Bupati Kepala Daerah.
12.
H. Abdul Hamid sebagai
Pejabat Bupati dan Ruslan sebagai Kepala Daerah yang memerintah sama-sama;
1957-1958.
13.
R. Upoyo Prawirodilogo,
Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRDGR 1958-1964. Bupati inilah yang
memprakarsai pembangunan monumen obor Ganefo I di Mrapen.
14.
Supangat; Bupati
Kepala Daerah merangkap Ketua DPRGR : 1964-1967.
15.
R. Marjaban, Pejabat
Bupati Kepala Daerah : 1967-1970.
16.
R. Umar Khasan,
Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1970-197
17.
Kolonel Inf. H.
Soegiri, Bupati Kepala Daerah : 11 Juli 1974-11 Maret 1986.
18.
Kolonel H. Mulyono US
: Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1986-11 Maret 1996.
19.
Kolonel Inf. T.
Soewito , Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1996 –2001
20.
Agus Supriyanto, SE
sebagai Bupati dan H. Bambang Pudjiono, SH sebagai Wakil Bupati Grobogan : 11
Maret 2001 –2006
21.
H. Bambang Pudjiono,
SH sebagai Bupati dan H. Icek Baskoro, SH sebagai Wakil Bupati Grobogan :
2006–2011
Penjelasan Singkat Sengkalan Hari Jadi Kabupaten Grobogan
1. Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, Tahun 1650
Jawa.
KOMBULING CIPTO HANGR0S0 JATI
Arti :
KOMBULING : dari kata
: Umbul = kaumbul, mumbul, muluk, naik ke angkasa, tiada, hilang,
kawentar,
terkenal, bersatu.
CIPTO
: dari kata : anggan-angan, cita-cita, gegayuhan,
krenteging ati, cipta, mencipta.
HANGROSO : dari kata
: roso, cipta, rasa batin merasa.
JATI
: dari kata :
sejati, benar, sungguh, yekti, suci.
Arti Sengkalan KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI :
·
Bersatunya
kehendak dengan Nyang Agung menumbuhkan rasa sejati hidup dalam kesucian.
Makna :
·
Bersatunya
angan-angan atau cita-cita yang luhur dengan dilandasi rasa percaya kita kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberi semangat untuk berbuat baik, karena sadar
bahwa kita (manusia) adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi martabat dan
hakekatnya.
Angka Tahun :
KOMBULING –
Ka-umbul-mumbul-tiada-hilang = bernilai 0 (nol)
CIPTO – angan-angan,
cita-cita, gegayuhan, krentegingati = bernilai 5 (lima)
HANGROSO – ngrasa-merasa =
bernilai 6 (enam)
JATI –
Sejati, sayekti, benar, suci = bernilai 1 (satu)
Sengkalan
KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI
bernilai angka tahun Jawa 1650.
2. Senin Kliwon, 4 Maret, Tahun 1726 Masehi.
KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA
Arti :
KRIDHANING : dari kata :
kridha, gawe, obah, gerak, kerja
HANGGA
: dari kata : hangga, anggota badan, tenaga
HAMBANGUN : dari kata :
bangun, bekerja, menciptkan sesuatu, membuat sesuatu
PRAJA
: dari kata : praja, nagara, nagari, negara
Arti Sengkalan KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA :
·
Kegiatan
kerja kita adalah untuk membangun negara dengan segala isinya (manusia, bangsa,
dan pemerintahan negara).
Makna :
·
Tekat
yang kuat untuk membangun daerah atau negara yang berisi manusia dan benda
wajib dilandasi oleh sarana bekerja giat di segala bidang (fisik maupun
non-fisik).
Angka Tahun :
KRIDHANING – obah, gawe, nyambut gawe,
bekerja = bernilai 6 (enam)
HANGGA – anggota badan (tangan dan kaki) =
bernilai 2 (dua)
HAMBANGUN – mbangun, membangun,
menciptakan sesuatu yang baru atau memperbaruhi sesuatu yang
lama = bernilai 7 (tujuh)
PRAJA – praja, negara, daerah = bernilai
1 (satu).
Sengkalan
KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA
bernilai angka tahun Masehi 1726